1. Hukum Menggunakan Hadits-Hadits Lemah Dalam Keutamaan Amal
Berkata
Syaikh Muhadits (ahli hadits) Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah: ”Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu ini telah
masyhur bahwa hadits dla’if (lemah) boleh diamalkan dalam fadlailul
‘amal (keutamaan amal). Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak
diperselisihkan.
Bagaimana
tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau
bahwa hal ini telah disepakati. (Seperti dalam kitab Arba’in Nawawi,
pent.) Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena perselisihan dalam
hal ini ma’ruf. Sebagian besar para muhaqiq (=peneliti) berpendapat
bahwa hadits dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan.
Syaikh
Al-Qasimi rahimahullah dalam kitab Qawaid At-Tahdits, hal: 94
mengatakan bahwa pendapat tersebut diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas
dalam ‘Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma’in dan Fathul Mughits beliau
menyandarkannya kepada Abu Bakr bin ‘Arabi. Pendapat ini juga merupakan
pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hajm.
Saya (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada keraguan padanya karena bebarapa perkara;pertama:
Hadits dla’if hanya mendatangkan sangkaan yang salah (dzanul marjuh).
Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa
mengecualikan boleh beramal dengan hadits dla’if dalam keutamaan amal,
hendaknya dia mendatangkan bukti, sungguh sangat jauh!. Kedua:
Yang aku pahami dari ucapan mereka tentang keutamaan amal yaitu
amal-amal yang telah disyari’atkan berdasarkan hadits shahih, kemudian
ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi
orang yang mengamalkannya. Maka hadits dla’if dalam keadaan semacam ini
boleh diamalkan dalam keutamaan amal, karena hal itu bukan pensyari’atan
amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus
yang diharapkan oleh pelakunya. Oleh karena itu ucapan sebagaian ulama
dimasukkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam
Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara
keutamaan amal walaupun tidak didukung secara ijma’ sebagaimana
keterangan Imam An-Nawawi, yaitu pada amal yang shahih berdasarkan
Al-Kitab dan As-Sunnah.
Maka
dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits dla’if diperbolehkan
jika telah adanya hadits shahih yang menunjukkan disyari’atkannya amal
itu. Akan tetapi kebanyakan orang yang berpendapat seperti itu tidak
dimaksudkan makna seperti itu. Buktinya kita menyaksikan mereka beramal
dengan hadits-hadits dla’if yang tidak terkandung dalam hadits-hadits
shahih, seperti Imam An-Nawawi dan yang mengikutinya menganggap sunnah
menjawab ucapan orang yang mengumandangkan iqamah ketika mengucapkan dua
kalimat syahadat (=qadqa matis shalah, qadqa matis shalah) dengan
ucapan “aqamahala wa adamaha” (=semoga Allah menegakkannya dan
melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini adalah dla’if .
[Kelemahan hadits ini dapat dilihat pada; Irwa’ul Ghalil 241. Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah; Ilmu Ushulil Bida’, hal:
157. Syaikh ‘Ali Hasan bin Adul Hamid.]
Amal
ini tidak ditetapkan pensyari’atannya kecuali pada hadits dla’if
tersebut. Meskipun demikian mereka menganggap hal itu merupakan suatu
sunnah. Padahal perkara sunnah adalah salah satu hukum diantara kelima
hukum (yakni: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) yang harus
ditetapkan berdasarkan dalil.
Betapa
banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyari’atkan dan disunnahkan
bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits lemah yang tidak ada
asal pensyari’atannya dalam hadits shahih. Akan tetapi disini tidak
mungkin untuk mencantumkan sebagai contoh, cukuplah salah satu contoh
yang telah aku sebutkan.
Adapun
yang terpenting disini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi
hal ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara
keutamaan amal tidak mutlak menurut orang-orang yang berpendapat
dengannya. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam
Tabyanul Ujab, hal: 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam
membawakan hadits-hadits tentang keutamaan amal walaupun memiliki
kelemahan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seharusnya hal ini diberi
syarat yaitu orang yang beramal dengannya menyakini bahwa hadits itu
lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan
hadits dla’if dan mensyari’atkan apa yang tidak disyari’atkan atau
sebagian orang-orang jahil (=bodoh) menyangka bahwa hadits itu adalah
shahih.
Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain-lain.
Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam:
(( من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكذبين ))
“Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap hadits itu dusta, maka dia termasuk seorang pendusta”
[Untuk lebih jelasnya lihat permasalahn ini pada kitab Syarh Shahih
Muslim, juz: 1, bagian muqadimah. Imam An-Nawawi Ad-Damsiqi
rahimahullah.]
Maka
bagaimana orang yang mengamalkannya?!. Tidak ada perbedaan antara
mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara
keutamaan amal, sebab semuanya adalah syari’at.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dengan hadits-hadits dla’if dalam keutamaan amal;
- Hadits itu tidak maudlu’ (=palsu).
- Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu adalah dla’if.
- Tidak memasyhurkan untuk beramal dengannya.
Akan
tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih
orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu
hadits tanpa mengetahui kelemahannya, mereka tidak mengetahui apakah
kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga (hadits) tersebut tidak
boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya
beramal dengan hadits shahih!. Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah
dikalangan kaum Muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari
ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanad-sanad (=jalan,
pent) yang shahih.
Kemudian
syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar
ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi, sebab satupun
diantara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tanpak.
Menurutku
(Syaikh Al-Albani), Al-Hafidz Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh
beramal dengan hadits dla’if berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat
bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara
hukum atau dalam keutamaan amal sebab semuanya adalah syari’at.
Inilah
yang haq, karena hadits dla’if yang tidak ada penguatnya kemungkinan
adalah maudlu’ (=palsu), bahkan umumnya palsu dan mungkar. Hal ini
ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dla’if
termasuk dalam ucapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam:”…yang dianggap hadits itu dusta”,
yaitu dengan menampakkan demikian. Oleh karena itu Al-Hafidz
menambahkan dengan ucapannya:”Maka bagaimana dengan orang yang
mengamalkannya”.
Hal
ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu
terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia
termasuk dalam hadits ini. Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidz
(Ibnu Hajar):”Maka bagaimanakah dengan orang yang mengamalkannya”.
Inilah
penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar tersebut. Adapun jika
ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu’
(=palsu) dan tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan keutamaan
adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al-Hafidz, sebab ucapan beliau
adalah dalam pembahasan hadits dla’if, bukan maudlu’ sebagaimana hal itu
tidak tersembunyi.
Apa
yang kami sebutkan tidak menafi’kan (=meniadakan) bahwa Al-Hafidz (Ibnu
Hajar) menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dla’if.
Sebab kita katakan bahwa Al-Hafidz menyebutkan perkataan itu kepada
orang-orang yang membolehkan memakai hadits dla’if dalam perkara
keutamaan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seakan-akan beliau berkata
kepada mereka:”Jika kalian berpendapat demikian, maka seharusnya kalian
menerapkan syarat-syarat ini”.
Al-Hafidz
tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam
membolehkan (beramal dengan hadits-hadits yang dla’if) dengan
syarat-syarat itu. Bahkan diakhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya
seperti yang telah kami terangkan.
Kesimpulannya,
bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak
diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang
yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat itu ketika
mengamalkan hadits dla’if, Wallahu Muwaffiq. Demikian perkataan Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. [Tamamul Minah Fii Ta’liq
Fiqh Sunnah, hal: 34-38. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah. Dinukil dari majalah Salafy edisi:
XXIII/Ramadlan/1418H/1996, hal: 23-25.]
2. Hadits-Hadits Lemah Hisnul Muslim
1. Do’a Ketika Masuk Rumah.
بسم الله ولجنا, وبسم الله خرجنا, وعلى ربنا توكلنا… {أخرجه أبو داود 4/325)
“Dengan
menyebut nama Allah kami masuk (ke rumah), dan dengan nama Allah kami
keluar (darinya) dan kepada Rabb kami, kami bertawakal…” (HR. Abu Dawud 4/325)
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam kitab Dla’if Abi Dawud no. 5096; Al-Kalamut Thayyib no. 62.
Ucapan salam ketika memasuki rumah merupakan perintah Allah Ta’ala, hal ini sebagaimana firman-Nya:
فإذا دخلتم بيوتا فسلموا على أنفسكم تحيتة من عند الله مباركة طيبة {سورة النور:61)
“Maka
apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah
kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam)
kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang
diberi berkah lagi baik” (QS. An-Nuur: 61).
2. Do’a Al-Istiftah.
الله
أكبرا كبيرا, الله أكبرا كبيرا, الله أكبرا كبيرا, والحمد لله كثيرا,
والحمد لله كثيرا, والحمد لله كثيرا, وسبحان الله بكرة وأصيلا {ثلاثا} أعوذ
بالله من الشيطان: من نفخه, ونفثه, وهمزه (أخرجه أبو داود 1/ 203؛ إبن
ماجة 1/256؛ أحمد 4/85)
“Allah
Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah
dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang
banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci
Allah di waktu pagi dan sore” (dibaca 3 kali). “Aku berlindung kepada
Allah dari tiupan, bisikan dan godaan Syaithan” (HR. Abu Dawud 1/203; Ibnu Majah 1/256; Ahmad 4/85).
ط
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if
Abu Dawud no. 764; Dla’if Ibnu Majah no. 155; Al-Misykah no. 817;
Irwa’ul Ghalil no. 342.
3. Dzikir-dzikir di Waktu Pagi dan Sore.
اللهم
إني أصبحت أشهدك وأشهد حملة عرشك, وملائكتك وجميع خلقك, أنك أنت الله لا
إله إلا أنت وحدك لا شريك لك, وأن محمدا عبدك ورسولك {أربع مرات} (أخرجه
أبو داود 4/317؛ البخاري في الأدب المفرد برقم: 1201؛ النسائي في عمل اليوم
والليلة برقم: 9؛ إبن السني برقم: 70)
“Ya
Allah! Sesungguhnya aku di waktu pagi mempersaksikan Engkau malaikat
yang memikul Arsy-Mu, malaikat-malaikat dan seluruh makhluk-Mu,
sesungguhnya Engkau adalah Allah, Tiada Rabb kecuali Engkau Yang Maha
Esa, tiada sekutu bagi-Mu dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan
utusan-Mu” (dibaca 4 kali) (HR. Abu Dawud 4/317; Bukhari
dalamAdabul Mufrad no. 1201; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah
no. 9; Ibnu Sinni no. 70).
ط
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if
Adabul Mufrad no. 1201; Dla’if Jami’ Ash-Shaghir no. 5729; Al-Kalamut
Thayyib no. 25; Ad-Dla’ifah no. 1041
Dan juga hadits:
اللهم
ما أصبح بي من نعمة أو بأحد من خلقك فمنك وحدك لا شريك لك, فلك الحمد ولك
الشكر (أخرجه أبو داود 4/318؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 7؛ إبن
السني برقم: 41؛ إبن حبان رقم: 2361)
“Ya
Allah! Nikmat yang kuterima atau diterima oleh seseorang diantara
makhluk-Mu di pagi ini adalah dari-Mu. Maha Esa Engkau, tiada sekutu
bagi-Mu, segala puji dan syukur kepada-Mu” (HR. Abu Dawud 4/318; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah no. 7; Ibnu Sinni no. 41; Ibnu Hibban no. 2361).
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Jami’ Ash-Shaghir no. 5730; Kalamut Thayyib no. 26.
Dan juga hadits:
eحسبي الله لا إله ألا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم {سبع مرات} (أخرجه إبن السني برقم: 71؛ أبو داود 4/321)
“Allah-lah
yang mencukupi (segala kebutuhanku), tidak ada Rabb kecuali Dia,
kepada-Nya aku bertawakal. Dialah Rabb yang menguasai Arsy yang agung”
(dibaca 7 kali) (HR. Ibnu Sinni no. 71; Abu Dawud 4/321)
ط
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam
Ad-Dla’ifah no. 5286 bahkan hadits ini Maudlu’ [Lihat Dla’if Abi Dawud
no. 5081.]
Dan juga hadits:
رضيت
بالله ربا, وبالإسلام دينا, وبمحمد –صلى الله عليه وسلم- نبيا {ثلاث مرات}
(أخرجه أحمد 4/337؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 4؛ إبن السني
برقم: 68؛ أبو داود 4/418؛ الترمذي 5/465)
“Aku ridlo Allah adalah Rabb-ku, Islam adalah agamaku, dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam adalah nabiku” (dibaca 3 kali) (HR. Ahmad 4/337; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah no. 4; Ibnu Sinni no. 68; Abu Dawud 4/418; At-Tirmidzi 5/465)
ط
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if
Jami’ Ash-Shaghir no. 5734; Al-Misykah no. 2399; Kalamut Thayyib no. 24;
Ad-Dla’ifah no. 5020; Shahih wa Dla’if Sunan At-Tirmidzi no. 3389.
Dan juga hadits:
أصبحنا
وأصبح الملك لله رب العالمين, اللهم إني أسألك خير هذا اليوم: فتحه, ونصره
ونوره, وبركته, وهداه, وأعوذ بك من شر ما فيه وشر ما بعده (أخرجه أبو داود
4/322)
“Kami
masuk pagi, sedang kerajaan hanya milik Allah, Rabb seru sekalian alam.
Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar memperoleh kebaikan,
pembuka (rahmat), pertolongan, cahaya, berkah dan petunjuk di hari ini.
Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang ada didalamnya dan
kejahatan sesudahnya” (HR. Abu Dawud 4/322)
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dla’ifah no. 5606 dan Dla’if Sunan Abi Dawud no. 5084.
4. Dzikir-dzikir Ketika Tidur.
اللهم قني عذابك يوم تبعث عبادك {ثلاث مرات} (أخرجه أبو داود 4/311؛ أنظر صحيح الترمذي 3/143)
“Ya Allah! Jauhkanlah aku dari siksaan-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu” (dibaca 3 kali) (HR. Abu Dawud 4/311 dan ini merupakan lafadznya. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/143).
ط
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam
As-Shahihah no. 2754; Shahih Adabul Mufrad no. 1215 jika tidak ada
penambahan kalimat “dibaca 3 kali”.
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah:”Sedangkan penambahan kalimat ‘dibaca 3 kali’
adalah mungkar atau syadz. Sesungguhnya hadits ini telah dishahihkan
oleh Al-Hafidz dan orang-orang yang taqlid kepadanya pada jaman
sekarang…” . [Lihat Ta’liq pada kitab Shahih Adabul Mufrad, hal: 470]
Wallahu Ta’ala a’lam wa Ahkam
Daftar Pustaka
1.
Shahih wa Dla’if Al-Jami’ As-Shaghir (3 Jilid); Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Al-Maktabah Al-Islamiy,
Bairut-Libanon.
2.
Sunan At-Tirmidzi (Shahih wa Dla’if) (1 Jilid); Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif
Linnasyir Wa At-Tauji’, Riyadl-KSA.
3.
Shahih wa Dla’if Sunan Abi Dawud (4 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Linnasyir Wa
At-Tauji’, Riyadl-KSA.
4.
Shahih wa Dla’if Sunan Ibnu Majah (4 Jilid); Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif
Linnasyir wa At-Tauji’, Riyadl-KSA.
5.
Irwa’ul Ghalil Fii Takhrij Ahadits Manaarus Sabiil (9 Jilid); Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Al-Maktabah
Al-Islamiy, Bairut-Libanon.
6.
Silsilah Ahadits Ad-Dla’ifah (13 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Linnasyir Wa
At-Tauji’, Riyadl-KSA.
7.
Silsilah Ahadits As-Shahihah (11 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Linnasyir Wa
At-Tauji’, Riyadl-KSA.
8.
Shahih Wa Dla’if Adabul Mufrad (2 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Dar As-Shadiq, Makkah
Al-Mukaramah-KSA.
9. Tarjamah Hisnul Muslim; Mahrus ‘Ali. Penerbit: Muasasah Al-Jaresiy, Riyadl-KSA.
(Dikutip dari tulisan Al Akh Abu Muhammad Abdur Rahman, murid asy Syaikh Kholid Az Zufairi hafidhohullah, Kuwait.)
Dikutip dari salafy.or.id offline Penulis: Abu Muhammad Abdur Rahman, Judul: Hadits-hadits lemah dalam kitab Hisnul Muslim
.
0 komentar:
Posting Komentar